Nama Kelompok 4 :
1. Florens Fernando (14214361)
2. Fradita Ajeng Dayuwati (14214364)
3. Fursan Wahiduddien (14214407)
4. Galang Niko Muhammad Putra (14214428)
5. Ghina Rahmanda Puteri (14214524)
Kasus
Haji Bambang Berjumpa Tuhan
Empat tahun yang lalu, persisnya 12 Oktober 2002, untuk pertama kalinya bom meledak di Kuta, Bali, dengan korban ratusan nyawa. Sedih, berduka, tersentuh, dan prihatin barangkali kata-kata yang tepat ketika itu. Seperti dikomando oleh sebuah kekuatan yang tidak bisa dijelaskan, berbagai pihak di dalam negeri dan luar negeri semuanya bergerak sebagai tanda simpati dan empati. Uang, tenaga, obat-obatan, pemberitaan semuanya mengalir deras sekali. Namun, di atas semua itu, ada yang lebih menyentuh hati lagi. Masyarakat Kuta yang tempat lahir sekaligus tempat hidupnya dihancurkan melalui ledakan bom, dinodai darah manusia, digoyang masa depannya, digoda kesabarannya, malah merespons secara menyentuh.
Cerita soal kemarahan dibalas kemarahan, darah dibayar darah, kebencian diikuti kebencian, dan penghancuran tidak punya sahabat ikutan lain selain penghancuran sudah terlalu sering kita dengar, baca, dan tonton. Namun, penghancuran diikuti persahabatan, bencana darah manusia direspons dengan ketenangan, kecurigaan terhadap pihak lain diganti empati-empati saling berbagi, dan di atas semua itu, tidak ada satu pun tempat ibadah yang terkena lemparan batu, apalagi dihancurkan. Bukankah ini sebuah peristiwa kemanusiaan yang langka? Lebih langka lagi, tatkala petaka darah manusia terjadi di tempat yang bukan mayoritas beragama Islam, dan yang dicurigai ketika itu adalah jaringan Al Qaeda, malah mengangkat nama Haji Bambang sebagai salah satu pembawa suara hati. Ini tidak saja muncul dalam pemberitaan media massa, tetapi juga penghargaan kemanusiaan yang mengalir deras buat Haji Bambang. Bersama Nyoman Bagiana Karang serta masyarakat Kuta lainnya, mereka langsung menyingsingkan lengan. Dari mengangkut korban mayat manusia yang tercabik-cabik, menggendong yang berdarah-darah, menyelamatkan yang bisa diselamatkan, sampai dengan bersama- sama meredam emosi massa masing-masing. Hasilnya, setelah empat tahun kejadian ini berlalu, bahkan lewat pengadilan telah ditetapkan terhukum serta hukumannya, wajah Kuta tidak berubah: kebencian tidak harus diikuti kebencian, penghancuran tidak mesti disertai dendam, darah manusia tidak harus dibayar dengan darah manusia susulan, dan Haji Bambang masih menjadi salah satu warga Kuta yang dihormati. Bagi siapa saja yang punya kepekaan, mencatat kejadian ini di dalam hatinya, mungkin akan membuka pintu- pintu renungan. Kebanyakan manusia hormat dan cinta sekali dengan Tuhan yang ditemukan di masjid, gereja, vihara, konco, dan pura. Sahabat Islam lima kali sehari shalat di masjid. Sahabat Nasrani menyimpan tidak terhitung jumlah lagu-lagu pujian buat Tuhan, sahabat Buddha bahkan bernamaskara kepada setiap patung Buddha. Orang Hindu memiliki ratusan bahkan ribuan ritual untuk memuja Tuhan di pura. Pertanyaannya kemudian, apabila penghormatan terhadap Tuhan di tempat ibadah demikian khusyuknya, adakah sahabat yang juga melakukan penghormatan khusyuk kepada Tuhan yang ada pada suami/istri, orang tua, putra/putri, tetangga, atasan/ bawahan, pemerintah, manusia lain, binatang, tetumbuhan serta wajah- wajah Tuhan lainnya?
Banyak agama sepakat, Tuhan ada di mana-mana. Dalam bahasa Buddha, semua memiliki sifat-sifat ke-Buddha-an. Kita semua boleh berbangga dengan banyaknya sumbangan untuk membangun tempat ibadah, frekuensi sembahyang yang tinggi di tempat ibadah. Namun, menyisakan pertanyaan, apakah penghormatan manusia terhadap Tuhan di luar tempat ibadah sama khusyuknya?
Meminjam pendapat Dalai Lama, Tuhan adalah cinta kasih yang tidak terbatas. Kalau ini pengertiannya, Haji Bambang, Nyoman Bagiana Karang, dkk telah berjumpa Tuhan (baca: cinta kasih tidak terbatas), sekaligus menjadi bukti bahwa dengan cinta kasihlah kebencian, kemarahan, dendam, ceceran darah manusia akibat peran dan perkelahian bisa dihentikan sampai ke akar-akarnya yang paling dalam.
Sebagai bahan pembanding, serangan teroris terhadap gedung kembar World Trade Center, New York, 11 September 2001, telah diikuti oleh penyerangan Amerika Serikat dan sekutunya terhadap Afganistan dan Irak. Berapa peluru telah ditembakkan, berapa bom telah diluncurkan, berapa pesawat tempur sudah dikerahkan, berapa kapal perang serta tank sudah berada di belakang dendam dan pembalasan. Sebagaimana sudah dicatat sejarah, belum ada tanda-tanda teroris sudah kapok, belum ada tanda-tanda bahwa AS bersama sekutu-sekutunya puas dengan dendam dan serangan tersebut. Yang paling penting, ketakutan umat manusia di dunia terhadap serangan baru teroris tidak menurun. Kuta memang hanya sebuah desa. Kuta juga bukan negara adikuasa. Kuta kerap dituduh menggadaikan budaya untuk pariwisata. Namun, kejadian 12 Oktober 2002, ditambah juga bom Bali kedua yang terjadi di desa yang sama, telah menjadi monumen kehidupan bahwa Kuta sudah memberikan pembanding tentang bagaimana persoalan- persoalan kemanusiaan sebaiknya diselesaikan. Lebih dari selesai, ia juga membuat Haji Bambang, Nyoman Bagiana Karang, dkk berjumpa Tuhan. Ini sebabnya ketika ada wacana apa sebaiknya nama monumen bom Bali, seorang sahabat memberi saran: monumen kemenangan Dharma (hukum alam). Seperti memegang air, basah; memegang api, terbakar. Siapa yang mengisi hidupnya dengan cinta kasih, kebahagiaan adalah hasil ikutannya. Apabila kehidupan diisi oleh kemarahan, penderitaanlah buahnya.
Haji Bambang tidak saja selamat daribom Kuta, bahkan dihadiahi sejumlah penghargaan internasional. Nyoman Bagiana Karang tidak saja dianggap sebagai Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kuta yang berhasil, sekarang malah sudah jadi anggota DPRD Badung. Adapun para teroris, yang tertangkap serta telah diputuskan hukumannya oleh pengadilan, kita sudah tahu sendiri nasibnya di Nusa Kambangan. Pemerintah AS dan sekutu-sekutunya juga sudah kita ketahui kerepotannya.
Dari seluruh cerita ini, bom Bali memang sudah memakan ongkos mahal. Bukankah sayang sekali kalau kejadian yang memakan ongkos demikian mahal kemudian menghilang terbang bersama waktu? Adakah sahabat-sahabat yang terketuk hatinya kemudian membaca kalau model penyelesaian Kuta juga model penyelesaian kita?
Sumber : Gede Prama . Kompas, 7 Oktober 2006
Pertanyaan :
A. Coba Anda jelaskan perilaku Haji Bambang dan Nyoman Bagiana Karang dengan menggunakan berbagai teori etika yang telah Anda pelajari. Adakah dari teori-teori tersebut yang mampu menjelaskan perilaku kedua orang tersebut? Jelaskan!
Jawab:
Jika dilihat dari teori-teori etika yang ada, maka perilaku Haji Bambang dan Nyoman Bagiana Karang dalam menghadapi kasus bom Bali sesuai dengan teori etika teonom, yaitu seseorang yang melakukan suatu tindakan berdasarkan hakekat utuh sebagai manusia dengan melibatkan kecerdasan fisik (PQ), kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ) yang dimlikinya. Haji Bambang, Nyoman Bagiana Karang dan masyarakat Kuta lainnya menggunakan kecerdasan fisik (PQ) dan kecerdasan intelektual (IQ) untuk berusaha menyelamatkan diri masing-masing agar terhindar dari musibah yang sedang terjadi, serta mereka menggunakan kecerdasan emosional (EQ) untuk menolong warga lainnya yang terluka maupun yang tewas. Apa yang mereka lakukan merupakan perintah dari Tuhan yang terdapat dalam kitab suci mereka masing-masing, yaitu saling menolong sesama makhluk Tuhan. Tindakan saling menolong mereka sebagai bentuk rasa hormat dan cinta kepada Tuhannya, yang melibatkan kecerdasan spiritual (SQ).
B. Bandingkan dengan sikap pemerintah Amerika Serikat dan sekutunya dalam menangani kasus teroris serupa yang menghancurkan gedung WTC. Apa yang membedakan sikap Haji Bambang dan Nyoman dengan sikap pemerintah AS dan sekutu-sekutunya?
Jawab:
Sikap Haji Bambang dan Nyoman dalam menangani kasus teroris dengan kecerdasan fisik (PQ), kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ) dengan tidak terpancing emosi dan tidak saling menyalahkan namun lebih memilih membantu menyelamatkan korban terorisme, sedangakan sikap Amerika Serikat dan sekutunya menggunakan kecerdasan fisik (PQ) dan kecerdasan intelektual (IQ) dengan melakukan pembalasan kepada Afganistan dan Irak.
C. Dalam menghadapi kasus teroris yang hampir sama, suasana batin masyarakat Kuta tetap tenang dan damai, berbeda dengan suasana batin pemerintah dan sebagian masyarakat Amerika Serikat yang penuh dendam, kebencian, dan ketakutan. Mengapa bisa demikian? Jelaskan menurut teori yang telah Anda pelajari!
Jawab:
Perbedaan antara masyarakat Bali dan masyarakat Amerika dapat dilihat dari kecerdasan spiritual (SQ) yang dimilikinya, yaitu lebih terkait kepada soal seberapa masing-masing masyakarat dekat dengan Tuhannya. Masyarakat Amerika Serikat lebih memilih untuk membalas dendam karena mereka masih menganggap bahwa negara mereka berkuasa dan cenderung tidak menggunakan kecerdasan spiritualnya, sedangkan masyarakat Bali lebih memilih untuk hidup rukun, damai dan menggunakan kecerdasan spiritualnya. Karena jika kita menggunakan kecerdasan spiritual (mendekatkan diri kepada Tuhan) maka suasana batin akan menjadi tenang dan damai, tidak akan ada rasa dendam, kebencian, dan ketakutan.
D. Pelajaran apakah yang dapat Anda petik dari kedua orang yang berbeda agama-Haji Bambang dan Nyoman-di desa Kuta, Bali dalam menghadapi kerawanan konflik akibat keragaman budaya, suku, agama, adat, dan bahasa bagi bangsa Indonesia?
Jawab:
Dalam menghadapi setiap perbedaan agama, budaya, suku, adat, dan sebagainya, hendaknya setiap manusia kembali berpedoman terhadap kitab sucinya masing-masing, karena tujuan utama yang diajarkan pada kitab suci semua agama adalah untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Perbedaan agama, budaya, suku, adat, dan sebagainya, bukan berarti adanya suatu halangan untuk hidup damai dengan umat manusia lainnya dan bukan halangan untuk saling tolong menolong sesama umat manusia. Kecerdasan fisik (PQ), kecerdasan intelektual (IQ), dan kecerdasan emosional (EQ) itu penting, tetapi kecerdasan spiritual (SQ) lebih penting karena kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang paling mendasar yang mampu mempengaruhi ketiga kecerdasan lainnya.